Bangkutaman Band "Interconnection #1"

Photobucket © zahirulalwan
 
Photobucket
© zahirulalwan

Interconnection #1
Sabtu, 21 Januari 2012, Purnabudaya UGM Yogyakarta.

Bermula pada pertengahan 1999, Irwin dan Bayu yang kebetulan kuliah satu kampus di Jogja ingin membuat band untuk iseng mengisi waktu luang. Dua personil pertama ini memiliki genre yang sama dalam hal musik, yaitu Brit-Pop/Indie-Pop. Pada awalnya mereka kesusahan sekali untuk mencari personil lain yang sealiran di kota tersebut, karena memang indie pop sangat langka di Jogjakarta. Tapi kesabaran dan kerja keras ternyata membuahkan hasil.

Akhir tahun 1999, mereka berdua berkenalan dengan Acum (Wahyu) yang ternyata memiliki kiblat musik yang sama. Untuk bisa tampil diatas panggung dengan membawakan indie pop adalah impian mereka, maka Bayu memutuskan untuk mengajak Nanang, teman baiknya untuk bermain drum sebagai additional player. Formasi ini bernama “The Garage Flower”, nama itu mereka dapat dari nama album pertama dari band asal Manchester, The Stone Roses. Pada masa itu, mereka masih terlalu berkiblat kepada The Stone Roses. Formasi pertama sebagai berikut : Acum pada vokal, Irwin pada gitar, Bayu pada bass dan Nanang pada drum.

Seleksi pertama di kampus UPN dengan membawakan “I Wanna Be Adored”-nya The Stone Roses dan hasilnya sangat tidak menggembirakan. Dengan berjalannya waktu, Nanang tidak bisa lagi membantu The Garage Flower karena ia sibuk dengan bandnya yang sudah sibuk (Teknoshit). The Garage Flower vakum untuk beberapa saat, namun selang 3 bulan salah satu teman tongkrongan kampus, Ade mengajak temannya Dimas untuk bermain bass dan Bayu pada drum. Formasi kedua ini menjadi : Acum yang mulai memegang gitar sebagai rhytm dan vocal, Irwin pada lead-guitar, Bayu pada drum dan Dimas pada bass. Ternyata formasi ini tidak bertahan lama juga. Dimas ternyata harus cabut karena ia harus konsentrasi dengan urusan-urusannya. Sekali lagi, terjadi kevakuman. September 2000, masuklah Deni, hasil perkenalan lewat chatting. Denny masuk sebagai drummer untuk menggantikan Bayu, sehingga Bayu kembali lagi menjadi basis.

Dengan masuknya Denny, nama band mulai berubah menjadi “bangkutaman”. Dengan berganti nama band, keempat personil mulai benar-benar serius dalam band. Nama bangkutaman dipilih karena seringnya Irwin dan Bayu beserta teman-teman lainnya duduk sambil bersendau gurau di bangku-bangku yang ada di pinggir taman di dalam Kampus Sanata Dharma. Dengan bergantinya nama menjadi “bangkutaman”, barulah mulai terlihat titik terang dalam bermusik.
Bangkutaman manggung pertama kali di Jogja dalam acara “ngamen” di kantin Kampus Sanata Dharma. Dengan semangat idealis membawakan warna-warna lagu indie pop, dengan jujur dapat dikatakan bahwa kehadiran mereka masih terlalu asing. Masing-masing personil pun mengerti bahwa di Jogjakarta, musik Brit-Pop/Indie-Pop adalah underground among undergrounds. Sebagai puncaknya, mereka berhasil membuat single demo live berisi 4 lagu sendiri yang dipromosikan saat mereka manggung dalam acara “Proud To Be Indonesian” di GM2000 cafe di Jakarta pada bulan Mei 2001 lalu. Tahun 2001, Bayu resmi meninggalkan bangkutaman dan konsentrasi pada proyek pribadinya. Bayu terlihat sepanggung dengan bangku taman untuk terakhir kalinya pada 22 juli 2001 di New Java Cafe. bangkutaman masih memiliki sound yang definit meskipun bertiga, ini ditambah pula dengan additional player pada bass, Donald, yang pernah membantu bangkutaman. Setelah itu semua, pada tahun 2001 juga semua menjadi lebih baik untuk bangkutaman. Hal ini diawali dengan munculnya komunitas indie-pop yang bernama “Common People”.

Komunitas ini dimotori oleh band bernama “Parachute” yang salah satu personilnya adalah Dedyck. Dari saat itu pula bangkutaman mendapatkan manajer dan drummer baru yang definit dan berkarakter. Dengan adanya Nuki Dajjal sebagai manajer dan Dedyck sebagai drummer bangkutaman yang tetap, bangkutaman memulai semua hal dengan lebih professional tetapi tetap mempertahankan idealisme dan etos “Do It Yourself”. Hingga saat ini, bangkutaman adalah Acoem, Irwin, Dedyck dengan manajer Nuki Dajjal.
Sejak tahun 2003, bangkutaman mulai memasukkan suara keyboard dalam konsep live-performance. Pemain keyboard bangkutaman pada awalnya adalah Topan; yang mana merupakan drummer band bernama “The Monophones”. Tetapi karena kesibukan dengan bandnya, Topan tidak terlalu lama mengiringi karir bermusik bangkutaman. Sejak adanya Topan, bangkutaman mulai terdengar avantgarde dan psychadelic. Tidak dipungkiri, unsur warna musik dari The Stone Roses sedikit demi sedikit mulai pudar. bangkutaman tetap mencari sound yang definit karena mereka ingin terdengar seperti bangkutaman sendiri dan bukan seperti band-band luar yang menjadi influence mereka. Sepanjang tahun 2004, bangkutaman sibuk dengan pembuatan EP “Garage Of The Soul” mereka.

Proses pembuatan cukup lama karena masing-masing personil merasa selalu kurang dalam pembuatannya. Proses mixing dilakukan di 3 studio, yang mana ada beberapa hasil mixing-an tidak dipakai karena mereka merasa kurang bagus. Desember 2004, “Garage Of The Soul” dinyatakan selesai dan dilaunching di Jakarta pada April 2005 kemarin. Di tahun 2004 dan 2005 bangkutaman memperkuat kembali ciri khas mereka.

Mereka mulai berani mengeksplore suara organ (Satelit dari “Garage Of The Soul” EP) dan menggabungkan dengan permainan gitar yang berbasis skill. Permainan pada live performance juga sudah menunjukan perubahan. Dalam ekplorasi permainan dan sound gitar, bangkutaman mulai menggabungkan avantgarde, psychadelic dan blues. Tidak ketinggalan juga permainan gitar dengan mengunnakan effect 12 strings untuk mengeluarkan nuansa 60′s-nya. Bass pun mulai dimainkan secara monoton dengan nuansa avant-garde-nya juga. Mungkin yang masih kental dengan nuansa madchester dari bangkutaman adalah permainan drumnya, meskipun sampai detik ini pun, bangkutaman tetap membiarkan The Stone Roses hidup di hati mereka.
Secara singkat, itulah kurang lebih perjalanan karir musik bangkutaman. Masih banyak lagi yang belum diceritakan.

sumber: www.bangkutaman.tk

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

Warga Tionghoa Rayakan Imlek 2563

Photobucket© zahirulalwan

Photobucket© zahirulalwan

Photobucket © zahirulalwan

Minggu, 22 Januari 2012
Warga keturunan Tionghoa berdoa saat melakukan sembahyang di Wihara Buddha Prabha atau yang biasa di sebut Klenteng Gondokusuman yang berada Jl. Brigjen Katamso, DI Yogyakarta.

Sembahyang jelang perayaan Imlek yang diikuti ratusan warga Tionghoa tersebut sebagai ungkapan syukur kepada tuhan YME dan memohon tahun depan menjadi lebih baik bagi semua orang serta memanjatkan doa agar Bangsa Indonesia terhindar dari segala jenis bencana.

Gong Xi Fa Cai...

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan

Photobucket©zahirulalwan

Photobucket ©zahirulalwan

Rabu, 18 Januari 2012
Acara ini merupakan acara tahunan yang biasa diadakan setiap bulan Sapar hari Rabu Pungkasan oleh masyarakat 8 pedukuhan sekitar Bendung Kayangan, Pendoworejo, Girimulyo Kulon Progo. Dalam kegiatan ini setiap keluarga di sekitar Bendung Kayangan, Kulon Progo menyiapkan satu nampan tumpeng dan kudapan beraneka rasa lalu bersama-sama berbagi dan memakannya (Kembul Sewu Dulur) di Bendung Kayangan.

Dengan berbagi makanan dari satu nampan, ritual tahunan ini dimaknai dengan berbagi rejeki dan berkah serta mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa dan menghormati leluhur di alam seberang. Ini adalah kepercayaan warga sekitar Bendung Kayangan untuk menjaga harmoni alam dengan kembul makan bersama. Penonton pun diundang untuk berbagi bersama warga Kayangan dan pengunjung lain.

Warga juga menggelar acara seni budaya sebagai tontonan. Salah satunya adalah adat/tradis "Ngguyang Jaran kepang". Tradisi ini merupakan ritual turun temurun untuk menghormati cikal bakal warga Kayangan yaitu Mbah Bei Kayangan seorang "pekathik (pawang kuda) dan Abdi/Pengikut Prabu Brawijaya.

Keunikan dari upacara ini salah satunya adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.
 

Sejarah & Prosesi

Tradisi Kembul Sewu Dulu Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan di Bendung Kayangan di Dusun Turus, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendung ini menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Bendungan in bernama Kayangan karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada Bukit atau Gunung Kayangan. Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan setiap hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar bersamaan dengan tradisi merti Bendung Kayangan yang lebih dikenal dengan nama Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan.


Konon Mbah Bei Kayangan adalah seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Oleh warga setempat Mbah Bei juga dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Dalam pelariannya ini Mbah Bei beristirahat sekaligus bertapa di pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Dalam pertapaannya Mbah Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan dan ladang di daerah itu. Mbah Bei juga mendapat inisiatif untuk membangun bendungan secara manual khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasokan air selama musim kemarau yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan yang dibuatnya. Pembuatan bendungan ini juga membawa kemakmuran bagi banyak orang yang tinggal di sekitar Bendungan Kayangan, khusunya pertanian.


Pada awalnya upacara ini dilakukan secara sederhana berupa kenduri di rumah Kepala Dusun namun berkat dukungan dari berbagai pihak baik itu budayawan, seniman dan masyarakat upacara tradisi ini bisa dilaksanakan dengan skala lebih besar dan lebih meriah. Muncul gagasan merti bendungan yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan upacara untuk ikut memeriahkan dan lebih menyatukan masyarakat dan memberi rasa kebersamaan bagi banyak dusun yang mendapatkan manfaat dari Bendung Kayangan. Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitar Bendung Kayangan di antaranya adalah Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, Krikil, dan lain-lain.


Tidak ada informasi yang jelas mengenai tahun pembuatan Bendung Kayangan namun bendungan ini jelas punya kontribusi yang sangat vital untuk pertanian di Kulon Progo bahkan sebelum Bendungan Kaliwabawang dibuat. Bendungan tradisional ini pernah diperbaiki dan dibangun secara permanen oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1905. Kabarnya Bendung Kayangan ini bisa mengairi 350 hektar sawah dengan panenan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Sekalipun bendungan ini masih berdiri tetapi tidak bisa berfungsi lagi secara maksimal karena kerusakan pintu air dan pendangkalan.


Upacara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini biasanya dimulai dengan kirab kelompok kesenian, pembawa sesaji dan kenduri, tamu undangan, dan masyarakat umum.


Para
peserta kirab secara bersama menuju ke lokasi bendungan dan berkumpul di pinggir sungai, kemudian kelompok-kelompok kesenian melakukan pentas seni di hadapan para tamu dan masyarakat umum.

Kesenian tradisional yang dipentaskan di kompleks bendungan ini umumnya adalah kuda lumping atau jatilan. Sesudah berpentas babak pertama mereka akan memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai/bendungan tersebut (Ngguyang Jaran). Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping, diyakini bahwa jika kuda-kuda lumping mereka dimandikan di bendungan tersebut maka grup atau kelompok kuda lumping mereka akan mendapatkan banyak tanggapan, laku atau laris. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan masih hidup. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka akan berpentas lagi.


Setelah ritual memandikan kuda lumping acara dilanjutkan dengan kenduri Saparan. Berbagai menu sesaji dan makanan tradisional yang dibawa masyarakat dan sudah tertata rapi di pinggir bendungan dibagikan pada seluruh pengunjung setelah didoakan oleh pemangku adat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (Makan Bersama Seribu Saudara) juga sebagai simbol dari rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.


Keunikan dari upacara ini adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

"Saparan Bekakak"

Photobucket
©zahirulalwan

Jumat Legi, 13 Januari 2012. 
Pada bulan Sapar Masyarakat Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, melaksanakan berbagai ritual atau upacara adat. Ritual tersebut biasa dikenal dengan nama Saparan Bekakak. Nama Saparan diambil dari nama bulan Sapar yang biasa dilafalkan oleh masyarakat Jawa menjadi bulan Sapar. Nama Bekakak sendiri karena dalam peelengkapan upacara ini terdapat sepasang pengantin bekakak.

Upacara adat ini sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, tepatnya antara tahun 1755 hingga 1792. Ritual ini digelar sebagai bentuk permohonan keselamatan warga Gamping. Tradisi yang sudah berumur hampir seusia Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini bermula dari kisah sepasang pengantin yang meninggal di Gunung Gamping.

Pada pelaksanaannya, upacara adat ini dibagi oleh beberapa tahap, yaitu midodareni pengantin bekakak, kirab bekakak, penyembelihan pengantin bekakak, dan sugengan ageng. Uniknya, dalam upacara ini ada dua pasang pengantin yang dibuat, salah satu pasang dihias bergaya Solo dan yang lainnya dihias bergaya Yogyakarta.

Nantinya, pengantin bekakak akan diarak menuju Gunung Gamping dan Gunung Kiling. Sebelum arak-arakan dimulai, akan terlebih dahulu digelar pementasan fragmen "Prasetyaning Sang Abdi" yang menceritakan tentang kisah Ki Wirosuto. Setelah pementasan fragmen selesai, baru arak-arakan dimulai diikuti tiga buah joli yang berisi sesajen.

Keunikan lain akan muncul saat upacara ini berlangsung. Di tengah-tengah ritual, biasanya akan muncul sekelompok anak yang berperan sebagai anak genderuwo. Anak-anak ini berjumlah puluhan anak dan didampingi sepasang genderuwo. Mereka bertugas mengawal pengantin bekakak.

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

Prosesi Menguras Enceh

Prosesi menguras Enceh (gentong) di Kompleks makam raja-raja Mataram, Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (23/12/2011)

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket ©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan



Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer