Kabut Bukit Punthuk Setumbu Selimuti Borobudur

©zahirulalwan
 
©zahirulalwan
 
©zahirulalwan

Magelang, 20 Februari 2012,
Candi Borobudur dilihat pada pagi hari, (20/2), dari atas Bukit Punthuk Setumbu, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

Bukit Punthuk Setumbu merupakan salah satu spot atau view terbaik untuk photographer dan wisatawan menyaksikan Borobudur Sunrise dari ketinggian 400 m. Bukit Punthuk Setumbu merupakan nama sebuah bukit yang terletak sekitar 4 km arah barat Candi Borobudur.

Bukit yang terletak di Desa Karangrejo ini merupakan salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan kemegahan Candi Borobudur di kala pagi sekaligus menunggu terbitnya matahari dari balik Gunung Merapi.

Solo Wayang Karnaval

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket ©zahirulalwan

Photobucket ©zahirulalwan

SOLO, 18/2/2012
Event Solo Wayang Karnaval yang dilaksanakan kemarin Sabtu, 18 Februari 2012 benar-benar menarik perhatian masyarakat Solo dan sekitarnya. Kirab ini untuk merayakan HUT ke-267 Kota Solo. Hampir seluruh masyarakat Solo memadati sepanjang jalanan dari Lapangan Kota Barat hingga sampai Balaikota Solo untuk menyaksikan kirab tersebut.

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

Roberta Gambarini

4 March 2011, Penampilan Roberta Gambarini pada Javajazz 2011 yang diselenggarakan di JIExpo Jakarta International Expo tahun lalu.

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Photobucket
©zahirulalwan

Roberta Gambarini Biography

Roberta Gambarini was born in Torino, Italy, into a family where jazz was much loved and appreciated. She began listening to this music as a child and started taking clarinet lessons when she was twelve years old. By the time she was 17, she had begun singing and performing in jazz clubs around Northern Italy. At the age of 18, she decided to move to Milan to pursue a career as a jazz singer.

Grebeg Maulud


Photobucket© zahirulalwan
Minggu,5 Februari 2012
Sejumlah abdi dalem mengarak Gunungan Kakung yang akan diperebutkan di Komplek Pakualaman saat melintas di Perempatan Kantor Pos Besar, Yogyakarta.

Grebeg ini dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada hari Minggu (5/2), Kraton Yogyakarta membuat tujuh gunungan yang diperebutkan di tiga tempat yakni halaman Masjid Gede Kauman, Komplek Kepatihan dan Pakualaman.


Photobucket© zahirulalwan
   
Ratusan orang berdesak-desakan untuk memperebutkan lima gunungan yang menjadi sedekah Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta

"Upacara Gerebek Maulud ini adalah salah satu bentuk rasa syukur dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang diwujudkan dalam sedekah berupa hasil bumi"

 
Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

Perayaan sekaten dalam rangka menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H

Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS), Alun-alun Utara, Yogyakarta 

Photobucket
© zahirulalwan

Sejarah Sekaten Ngayogyakarta Hadiningrat

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan karya Sunan Giri yang membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.


Photobucket © zahirulalwan

Setelah mengikuti kegiatan tersebut,masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.

Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sekali sebagai warisan budaya Islam yang diadakan pada bulan Maulud, bulan ketiga dalam tahun jawa dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dimulai pada akhir tahun 1960-an.


Photobucket
Miyos Gongso
© zahirulalwan

Di Kasultanan Ngayogyakarta,perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:
1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan ( Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang.
2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.
3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Kegiatan pendukung event tersebut adalah diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Jogja maupun luar Jogja.


Photobucket
Miyos Gongso
© zahirulalwan

GAMELAN

Tradisi Gamelan Sekaten Menyambut Maulid


Keraton Yogyakarta selama sepekan sebelum peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW akan menggelar tradisi menabuh gamelan sekaten di pelataran Masjid Gede Kauman, Keraton Yogyakarta. Pada tanggal 5 bulan Maulud yang merupakan hari pertama perayaan Sekaten diawali pada tengah malam dengan sebuah prosesi abdi dalem yang berjalan dalam dua baris dengan membawa kedua perangkat gamelan pusaka yaitu, Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung Yogyakarta meninggalkan Bangsal Ponconiti dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap. Di masjid agung Kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan. Kedua set gamelan ini dimainkan secara stimulan sampai tanggal 11 bulan Maulud, saat kedua gamelan tersebut dibawa kembali ke Kraton pada tengah malam.


Photobucket
Nabuh Gamelan
© zahirulalwan

Kedua gamelan ini yang ditempatkan di sisi utara dan selatan masjid ditabuh selama 24 jam. Tabuhan dihentikan hanya jika datang waktu salat. Tempo dalam tabuhan gamelan tradisi sekaten ini mengalir lebih lambat seiring tarikan napas para penabuh dan pendengarnya. Gending-gending yang dimainkan ini merupakan karya Sunan Kalijaga salah seorang wali penyebar agama Islam di Jawa sebagai sarana yang komunikatif untuk berdakwah. Disela-sela pergelaran, kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci dari Kitab Al-Quran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Sambil mendengarkan, warga biasanya mengunyah kinang atau makan nasi gurih serta telur merah, tradisi makan kinang dan nasi gurih ini sebenarnya ungkapan rasa syukur atas terciptanya harmoni dalam masyarakat. Sayangnya, sebagian masyarakat saat ini tidak lagi memahaminya. Malah menjadikan kinang dan nasi gurih sebagai sarana ngalap atau mencari berkah tertentu.

GAREBEG
Puncak dari perayaan Sekaten adalah Garebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12 bulan Maulud. Festival ini dimulai pada pukul 07.30 pagi, diawali oleh parade prajurit Kraton, yang terdiri dari sepuluh unit yang berama : Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso dan Bugis yang mengenakan seragam kebesaran mereka( kesepuluh inti prajurit kraton ini diabadikan menjadi nama-nama tempat di Yogyakarta seperti Wirobrajan, Daengan, Patangpuluhan, Jokokaryan, Prawirotaman, Nyutran, Ketanggungan, Mantrijeron, Surokarsan,dan Bugisan). Parade dimulai di halaman utara Kemandungan dan Kraton, menyeberangi Sitihinggil dan menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Pada pukul 10.00, Gunungan meninggalkan Kraton dengan didahului oleh pasukan Bugis dan Surokarso.

Gunungan terdiri dari makanan seperti sayuran, kacang-kacangan, cabai merah, telur, beberapa makanan berbahan dasar, yang disusun membentuk gunung yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Mataram. Saat parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan sorkan prajurit Kraton yang telah menunggu. Prosesi tersebut disebut Garebeg. Kata Garebeg berasal dari bahasa Jawa 'Brebeg" atau "Gumerebeg" yang berarti suara ribut yang ditimbulkan oleh sorakan penonton. Gunungan kemudian akan dibawa menuju Masjid Agung dimana setelah gunungan itu diberkahi, orang-orang akan berebutan mengambil bagian-bagian dari Gunungan tersebut, karena percaya bahwa gunungan itu merupakan benda suci, sehingga bagian-bagiannya pun dipercaya mempunyai kekuatan supranatural. Para petani sering menanam bagian dari gunungan tersebut di sawah dengan harapan akan dijauhkan dari bencana atau nasib sial. Menurut penanggalan Jawa, ada perayaan lain selain Garebeg Maulud, yang desebut Garebeg Syawal. Perayaan tersebut diadakan setelah bulan Ramadhan. Garebeg Syawal diadakan pada hari pertama bulan Syawal (bulan Jawa). Garebeg Besar diadakan pada hari ke-10 bulan Jawa, yang dihubungkan dengan hari raya umat Muslim (Qurban, Idhul Adha).

Masyarakat Yogyakarta dan daerah sekitarnya masih percaya bahwa perayaan Sekaten, khususnya pada saat diiringi gamelan, akan mendatangkan berkah dari Tuhan untuk pekerjaan, kesehatan dan masa depan mereka.
 

UPACARA SEKATEN
Upacara sekaten merupakan ajang interaksi sosial masyarakat dalam wujud kegiatan pasar malam di alun-alun utara. Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.

Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang. Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk. Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
 

Simbol-Simbol dan Filosofi dalam Sekaten
 
Kinang
Merupakan daun sirih yang dilengkapi dengan injet atau kapur masak dan gambir.
Kinang ini dipercaya dapat meembuat orang awet muda dan menjaga susunan dan kesehatan gigi. Daun sirih merupakan bagian dari sad rasa (enam rasa) yaitu manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepet atau asam. Hal itu bisa diibaratkan orang hidup, bahwa kehidupan ini beraneka rasa yang menjadi penyeimbang satu dengan yang lanilla. Seperti halnya sesuatu yang pahit meski tidak enak tetapi Belem tentu merugikan karena bisa dijadikan obat.

Bunga kanthil
Menurut orang Jawa bunga yang aji atau yang baik adalah bunga yang harum baunya. Bunga kanthil yang harem ini mencerminkan ajining diri atau jati diri seseorang

 

Sega gurih
Dalam bahasa Indonesia sering disebut nasi uduk merupakan lambang dari keberkatan dan kemakmuran, pada saat manusia dilahirkan telah disediakan fasilitas oleh Tuhan seperti sumber daya alam yang melimpah, tinggal bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkannya untuk kemakmuran umat, bukan malah sebaliknya menghancurkannya. Nasi uduk ini dimasak dengan berbagai macam bumbu yang membuat nasi ini lebih enak meskipun tanpa lauk pauk dibandingkan nasi biasa hal ini dimaksukan bahwa agar masyarakat khususnya Yogyakarta dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, lebih enak, tentram, tenang, damai, dan tidak kurang statu apapun.
 

Endhog abang
Dalam bahasa Indonesia berarti telur merah, telur yang direbus dengan berbagai macam bahan yang dapat membuat telur tersebut menjadi merah seperti kulit bawang merah. Telur diibaratkan bibit dari semua makhluk hidup, sedangkan warna merah dipilih karena selain melambangkan keberanian atau optimisme hidup dan orang jaman dahulu sering menyebut bayi yang baru lahir dengan sebutan bayi abang merupakan simbol bahwa masyarakat bisa lebih optimis dalam menghadapi hidup ini yang terkadang penuh dengan ketidakpastian. Telur ini biasanya ditusuk dengan bambu dan di atasnya diberi hiasan. Tusuk bambu itu diibaratkan dengan keberadaan Tuhan, semua makhluk hádala ciptaan Tuhan maka bibit yang telah diciptakan itu setelah menjadi bayi lalu berkembang agar selalu menghormat dan menyembah Tuhan.


Pecut
Pecut atau cambuk ini diibaratkan sebagai pengendali untuk mengarahkan kehidupan kearah yang lebih baik
 

Grebeg
Grebeg merupakan puncak perayaan sekaten ini merupakan ungkapan syukur Ngarsa Dalem untuk rakyatnya. Grebek yang terdiri dari beberapa gunungan berisi makanan dan sayuran diberikan dengan rayahan atau berebut. Hal ini melambangkan bahwa setiap rakyat yang ingin mendapat hajat Dalem berebut karena di dalam hidup ini untuk mendapatkan sesuatu harus dengan usaha.


Sumber : www.wikipedia.org

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer