©zahirulalwan
©zahirulalwan
©zahirulalwan
Rabu,
18 Januari 2012
Acara
ini merupakan acara tahunan yang biasa diadakan setiap bulan Sapar hari Rabu
Pungkasan oleh masyarakat 8 pedukuhan sekitar Bendung Kayangan, Pendoworejo,
Girimulyo Kulon Progo. Dalam kegiatan ini setiap keluarga di sekitar Bendung
Kayangan, Kulon Progo menyiapkan satu nampan tumpeng dan kudapan beraneka rasa
lalu bersama-sama berbagi dan memakannya (Kembul Sewu Dulur) di Bendung
Kayangan.
Dengan berbagi makanan dari satu nampan, ritual tahunan ini dimaknai dengan berbagi rejeki dan berkah serta mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa dan menghormati leluhur di alam seberang. Ini adalah kepercayaan warga sekitar Bendung Kayangan untuk menjaga harmoni alam dengan kembul makan bersama. Penonton pun diundang untuk berbagi bersama warga Kayangan dan pengunjung lain.
Warga juga menggelar acara seni budaya sebagai tontonan. Salah satunya adalah adat/tradis "Ngguyang Jaran kepang". Tradisi ini merupakan ritual turun temurun untuk menghormati cikal bakal warga Kayangan yaitu Mbah Bei Kayangan seorang "pekathik (pawang kuda) dan Abdi/Pengikut Prabu Brawijaya.
Keunikan dari upacara ini salah satunya adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.
Dengan berbagi makanan dari satu nampan, ritual tahunan ini dimaknai dengan berbagi rejeki dan berkah serta mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa dan menghormati leluhur di alam seberang. Ini adalah kepercayaan warga sekitar Bendung Kayangan untuk menjaga harmoni alam dengan kembul makan bersama. Penonton pun diundang untuk berbagi bersama warga Kayangan dan pengunjung lain.
Warga juga menggelar acara seni budaya sebagai tontonan. Salah satunya adalah adat/tradis "Ngguyang Jaran kepang". Tradisi ini merupakan ritual turun temurun untuk menghormati cikal bakal warga Kayangan yaitu Mbah Bei Kayangan seorang "pekathik (pawang kuda) dan Abdi/Pengikut Prabu Brawijaya.
Keunikan dari upacara ini salah satunya adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.
Sejarah & Prosesi
Tradisi Kembul Sewu Dulu Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan di Bendung Kayangan di Dusun Turus, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendung ini menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Bendungan in bernama Kayangan karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada Bukit atau Gunung Kayangan. Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan setiap hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar bersamaan dengan tradisi merti Bendung Kayangan yang lebih dikenal dengan nama Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan.
Konon Mbah Bei Kayangan adalah seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Oleh warga setempat Mbah Bei juga dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Dalam pelariannya ini Mbah Bei beristirahat sekaligus bertapa di pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Dalam pertapaannya Mbah Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan dan ladang di daerah itu. Mbah Bei juga mendapat inisiatif untuk membangun bendungan secara manual khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasokan air selama musim kemarau yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan yang dibuatnya. Pembuatan bendungan ini juga membawa kemakmuran bagi banyak orang yang tinggal di sekitar Bendungan Kayangan, khusunya pertanian.
Pada awalnya upacara ini dilakukan secara sederhana berupa kenduri di rumah Kepala Dusun namun berkat dukungan dari berbagai pihak baik itu budayawan, seniman dan masyarakat upacara tradisi ini bisa dilaksanakan dengan skala lebih besar dan lebih meriah. Muncul gagasan merti bendungan yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan upacara untuk ikut memeriahkan dan lebih menyatukan masyarakat dan memberi rasa kebersamaan bagi banyak dusun yang mendapatkan manfaat dari Bendung Kayangan. Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitar Bendung Kayangan di antaranya adalah Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, Krikil, dan lain-lain.
Tidak ada informasi yang jelas mengenai tahun pembuatan Bendung Kayangan namun bendungan ini jelas punya kontribusi yang sangat vital untuk pertanian di Kulon Progo bahkan sebelum Bendungan Kaliwabawang dibuat. Bendungan tradisional ini pernah diperbaiki dan dibangun secara permanen oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1905. Kabarnya Bendung Kayangan ini bisa mengairi 350 hektar sawah dengan panenan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Sekalipun bendungan ini masih berdiri tetapi tidak bisa berfungsi lagi secara maksimal karena kerusakan pintu air dan pendangkalan.
Upacara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini biasanya dimulai dengan kirab kelompok kesenian, pembawa sesaji dan kenduri, tamu undangan, dan masyarakat umum.
Para peserta kirab secara bersama menuju ke lokasi bendungan dan berkumpul di pinggir sungai, kemudian kelompok-kelompok kesenian melakukan pentas seni di hadapan para tamu dan masyarakat umum.
Kesenian tradisional yang dipentaskan di kompleks bendungan ini umumnya adalah kuda lumping atau jatilan. Sesudah berpentas babak pertama mereka akan memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai/bendungan tersebut (Ngguyang Jaran). Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping, diyakini bahwa jika kuda-kuda lumping mereka dimandikan di bendungan tersebut maka grup atau kelompok kuda lumping mereka akan mendapatkan banyak tanggapan, laku atau laris. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan masih hidup. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka akan berpentas lagi.
Setelah ritual memandikan kuda lumping acara dilanjutkan dengan kenduri Saparan. Berbagai menu sesaji dan makanan tradisional yang dibawa masyarakat dan sudah tertata rapi di pinggir bendungan dibagikan pada seluruh pengunjung setelah didoakan oleh pemangku adat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (Makan Bersama Seribu Saudara) juga sebagai simbol dari rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.
Keunikan dari upacara ini adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.
Tradisi Kembul Sewu Dulu Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan di Bendung Kayangan di Dusun Turus, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendung ini menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Bendungan in bernama Kayangan karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada Bukit atau Gunung Kayangan. Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan setiap hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar bersamaan dengan tradisi merti Bendung Kayangan yang lebih dikenal dengan nama Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan.
Konon Mbah Bei Kayangan adalah seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Oleh warga setempat Mbah Bei juga dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Dalam pelariannya ini Mbah Bei beristirahat sekaligus bertapa di pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Dalam pertapaannya Mbah Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan dan ladang di daerah itu. Mbah Bei juga mendapat inisiatif untuk membangun bendungan secara manual khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasokan air selama musim kemarau yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan yang dibuatnya. Pembuatan bendungan ini juga membawa kemakmuran bagi banyak orang yang tinggal di sekitar Bendungan Kayangan, khusunya pertanian.
Pada awalnya upacara ini dilakukan secara sederhana berupa kenduri di rumah Kepala Dusun namun berkat dukungan dari berbagai pihak baik itu budayawan, seniman dan masyarakat upacara tradisi ini bisa dilaksanakan dengan skala lebih besar dan lebih meriah. Muncul gagasan merti bendungan yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan upacara untuk ikut memeriahkan dan lebih menyatukan masyarakat dan memberi rasa kebersamaan bagi banyak dusun yang mendapatkan manfaat dari Bendung Kayangan. Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitar Bendung Kayangan di antaranya adalah Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, Krikil, dan lain-lain.
Tidak ada informasi yang jelas mengenai tahun pembuatan Bendung Kayangan namun bendungan ini jelas punya kontribusi yang sangat vital untuk pertanian di Kulon Progo bahkan sebelum Bendungan Kaliwabawang dibuat. Bendungan tradisional ini pernah diperbaiki dan dibangun secara permanen oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1905. Kabarnya Bendung Kayangan ini bisa mengairi 350 hektar sawah dengan panenan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Sekalipun bendungan ini masih berdiri tetapi tidak bisa berfungsi lagi secara maksimal karena kerusakan pintu air dan pendangkalan.
Upacara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini biasanya dimulai dengan kirab kelompok kesenian, pembawa sesaji dan kenduri, tamu undangan, dan masyarakat umum.
Para peserta kirab secara bersama menuju ke lokasi bendungan dan berkumpul di pinggir sungai, kemudian kelompok-kelompok kesenian melakukan pentas seni di hadapan para tamu dan masyarakat umum.
Kesenian tradisional yang dipentaskan di kompleks bendungan ini umumnya adalah kuda lumping atau jatilan. Sesudah berpentas babak pertama mereka akan memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai/bendungan tersebut (Ngguyang Jaran). Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping, diyakini bahwa jika kuda-kuda lumping mereka dimandikan di bendungan tersebut maka grup atau kelompok kuda lumping mereka akan mendapatkan banyak tanggapan, laku atau laris. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan masih hidup. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka akan berpentas lagi.
Setelah ritual memandikan kuda lumping acara dilanjutkan dengan kenduri Saparan. Berbagai menu sesaji dan makanan tradisional yang dibawa masyarakat dan sudah tertata rapi di pinggir bendungan dibagikan pada seluruh pengunjung setelah didoakan oleh pemangku adat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (Makan Bersama Seribu Saudara) juga sebagai simbol dari rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.
Keunikan dari upacara ini adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.
Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer