Keraton
Yogyakarta selama sepekan sebelum peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW
akan menggelar tradisi menabuh gamelan sekaten di pelataran Masjid
Gede Kauman, Keraton Yogyakarta. Pada tanggal 5 bulan Maulud yang
merupakan hari pertama perayaan Sekaten diawali pada tengah malam
dengan sebuah prosesi abdi dalem yang berjalan dalam dua baris dengan
membawa kedua perangkat gamelan pusaka yaitu, Kyai Guntur Madu dan
Kyai Nagawilaga dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri
Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara
(Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara
pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke dua perangkat gamelan tersebut
dipindahkan kehalaman Masjid Agung Yogyakarta meninggalkan Bangsal
Ponconiti dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai
pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap. Di masjid agung Kyai
Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan. Kedua set gamelan ini
dimainkan secara stimulan sampai tanggal 11 bulan Maulud, saat kedua
gamelan tersebut dibawa kembali ke Kraton pada tengah malam.
Nabuh Gamelan
© zahirulalwan
Kedua gamelan ini yang ditempatkan di sisi utara dan selatan masjid ditabuh
selama 24 jam. Tabuhan dihentikan hanya jika datang waktu salat.
Tempo dalam tabuhan gamelan tradisi sekaten ini mengalir lebih lambat
seiring tarikan napas para penabuh dan pendengarnya. Gending-gending
yang dimainkan ini merupakan karya Sunan Kalijaga salah seorang wali
penyebar agama Islam di Jawa sebagai sarana yang komunikatif untuk
berdakwah.
Disela-sela pergelaran, kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat
suci dari Kitab Al-Quran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk
agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai
pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Sambil mendengarkan, warga biasanya mengunyah kinang atau makan nasi gurih
serta telur merah, tradisi makan kinang dan nasi gurih ini sebenarnya
ungkapan rasa syukur atas terciptanya harmoni dalam masyarakat.
Sayangnya, sebagian masyarakat saat ini tidak lagi memahaminya. Malah
menjadikan kinang dan nasi gurih sebagai sarana ngalap atau mencari
berkah tertentu.
GAREBEG
Puncak
dari perayaan Sekaten adalah Garebeg Maulud yang diadakan pada
tanggal 12 bulan Maulud. Festival ini dimulai pada pukul 07.30 pagi,
diawali oleh parade prajurit Kraton, yang terdiri dari sepuluh unit
yang berama : Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo,
Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso dan Bugis yang mengenakan
seragam kebesaran mereka( kesepuluh inti prajurit kraton ini
diabadikan menjadi nama-nama tempat di Yogyakarta seperti Wirobrajan,
Daengan, Patangpuluhan, Jokokaryan, Prawirotaman, Nyutran,
Ketanggungan, Mantrijeron, Surokarsan,dan Bugisan). Parade dimulai di
halaman utara Kemandungan dan Kraton, menyeberangi Sitihinggil dan
menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Pada pukul 10.00, Gunungan
meninggalkan Kraton dengan didahului oleh pasukan Bugis dan
Surokarso.
Gunungan terdiri dari makanan seperti sayuran,
kacang-kacangan, cabai merah, telur, beberapa makanan berbahan dasar,
yang disusun membentuk gunung yang melambangkan kemakmuran dan
kesejahteraan Mataram. Saat parade menyeberangi alun-alun utara,
mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan sorkan prajurit Kraton
yang telah menunggu. Prosesi tersebut disebut Garebeg. Kata Garebeg
berasal dari bahasa Jawa 'Brebeg" atau "Gumerebeg"
yang berarti suara ribut yang ditimbulkan oleh sorakan penonton.
Gunungan kemudian akan dibawa menuju Masjid Agung dimana setelah
gunungan itu diberkahi, orang-orang akan berebutan mengambil
bagian-bagian dari Gunungan tersebut, karena percaya bahwa gunungan
itu merupakan benda suci, sehingga bagian-bagiannya pun dipercaya
mempunyai kekuatan supranatural. Para petani sering menanam bagian
dari gunungan tersebut di sawah dengan harapan akan dijauhkan dari
bencana atau nasib sial. Menurut penanggalan Jawa, ada perayaan lain
selain Garebeg Maulud, yang desebut Garebeg Syawal. Perayaan tersebut
diadakan setelah bulan Ramadhan. Garebeg Syawal diadakan pada hari
pertama bulan Syawal (bulan Jawa). Garebeg Besar diadakan pada hari
ke-10 bulan Jawa, yang dihubungkan dengan hari raya umat Muslim
(Qurban, Idhul Adha).
Masyarakat Yogyakarta dan daerah
sekitarnya masih percaya bahwa perayaan Sekaten, khususnya pada saat
diiringi gamelan, akan mendatangkan berkah dari Tuhan untuk
pekerjaan, kesehatan dan masa depan mereka.
UPACARA
SEKATEN
Upacara
sekaten merupakan ajang interaksi sosial masyarakat dalam wujud
kegiatan pasar malam di alun-alun utara. Sebelum upacara Sekaten
dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan
spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara
Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang
logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk
niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi
Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang
disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai
Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut
dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan
disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali
dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau
dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening,
alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada
masing-masing gamelan.Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian
lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung
pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem,
Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima,
Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em,
Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur
pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet
barang. Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang
Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di
dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk
mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang
bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan
berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai pada tanggal 6
Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan
Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai
Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur
Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas
menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan
prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang
berjualan kinang dan nasi wuduk. Lepas waktu sholat Isya, para abdi
dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan
bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan
melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten
dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama
dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan
pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan
gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet
gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara
bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai
Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan
gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal.
Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik
di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal
Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan
ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi
dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu
ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung
dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman
masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan
malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat
hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud
(Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid
Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa
pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai
Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah
semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari
halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda
bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
Simbol-Simbol
dan Filosofi dalam Sekaten
Kinang
Merupakan
daun sirih yang dilengkapi dengan injet atau kapur masak dan gambir.
Kinang ini
dipercaya dapat meembuat orang awet muda dan menjaga susunan dan
kesehatan gigi. Daun sirih merupakan bagian dari sad rasa (enam rasa)
yaitu manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepet atau asam. Hal itu
bisa diibaratkan orang hidup, bahwa kehidupan ini beraneka rasa yang
menjadi penyeimbang satu dengan yang lanilla. Seperti halnya sesuatu
yang pahit meski tidak enak tetapi Belem tentu merugikan karena bisa
dijadikan obat.
Bunga
kanthil
Menurut
orang Jawa bunga yang aji atau yang baik adalah bunga yang harum
baunya. Bunga kanthil yang harem ini mencerminkan ajining diri atau
jati diri seseorang
Sega
gurih
Dalam
bahasa Indonesia sering disebut nasi uduk merupakan lambang dari
keberkatan dan kemakmuran, pada saat manusia dilahirkan telah
disediakan fasilitas oleh Tuhan seperti sumber daya alam yang
melimpah, tinggal bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkannya
untuk kemakmuran umat, bukan malah sebaliknya menghancurkannya. Nasi
uduk ini dimasak dengan berbagai macam bumbu yang membuat nasi ini
lebih enak meskipun tanpa lauk pauk dibandingkan nasi biasa hal ini
dimaksukan bahwa agar masyarakat khususnya Yogyakarta dapat menikmati
kehidupan yang lebih baik, lebih enak, tentram, tenang, damai, dan
tidak kurang statu apapun.
Endhog
abang
Dalam
bahasa Indonesia berarti telur merah, telur yang direbus dengan
berbagai macam bahan yang dapat membuat telur tersebut menjadi merah
seperti kulit bawang merah. Telur diibaratkan bibit dari semua
makhluk hidup, sedangkan warna merah dipilih karena selain
melambangkan keberanian atau optimisme hidup dan orang jaman dahulu
sering menyebut bayi yang baru lahir dengan sebutan bayi abang
merupakan simbol bahwa masyarakat bisa lebih optimis dalam menghadapi
hidup ini yang terkadang penuh dengan ketidakpastian. Telur ini
biasanya ditusuk dengan bambu dan di atasnya diberi hiasan. Tusuk
bambu itu diibaratkan dengan keberadaan Tuhan, semua makhluk hádala
ciptaan Tuhan maka bibit yang telah diciptakan itu setelah menjadi
bayi lalu berkembang agar selalu menghormat dan menyembah
Tuhan.
Pecut
Pecut
atau cambuk ini diibaratkan sebagai pengendali untuk mengarahkan
kehidupan kearah yang lebih baik
Grebeg
Grebeg
merupakan puncak perayaan sekaten ini merupakan ungkapan syukur
Ngarsa Dalem untuk rakyatnya. Grebek yang terdiri dari beberapa
gunungan berisi makanan dan sayuran diberikan dengan rayahan atau
berebut. Hal ini melambangkan bahwa setiap rakyat yang ingin mendapat
hajat Dalem berebut karena di dalam hidup ini untuk mendapatkan
sesuatu harus dengan usaha.
Sumber : www.wikipedia.org
Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer